Pangandaran - Eks bangunan Stasiun Kereta Api (KA) Pangandaran bak rumah hantu. Bangunan yang terletak di Dusun Bojongjati, Desa Pananjung, Pangandaran itu kini mati tak berdaya.
Kondisi bangunan KA Pangandaran masih terlihat kokoh, tetapi bagian atapnya merosot termakan usia. Bangunannya mulai retak-retak.
Halaman depan Stasiun KA Pangandaran terdapat gerobak salah satu pedagang warga setempat. Penampakan stasiun sudah mirip tempat rongsokan.
Pada bagian stasiun yang terbuka dimanfaatkan warga untuk garasi mobil. Kemudian bagian depannya terdapat rumput ilalang dan tumpukan sampah.
Padahal, menurut warga setempat, dahulu Stasiun Kereta Api Pangandaran primadona wisatawan asing dan berjaya pada masanya.
"Dahulu sekitar tahun 80-an, saya sering jemput wisatawan di KA Pangandaran untuk menuju objek wisata Pantai Pangandaran," kata Anton (66) mantan pemandu wisata pada zamannya.
Menurutnya, keberadaan Stasiun KA Pangandaran sangat dirindukan warga setempat, apalagi menjadi alternatif kendaraan menuju objek wisata Pangandaran.
"Keberadaan Stasiun Pangandaran sebetulnya sangat strategis bagi denyut nadi kehidupan ekonomi warga setempat. Dari sisi sosial, budaya dan pariwisata," kata dia.
Baca juga: 5 Objek Wisata Pangandaran Ini Diprediksi akan Diserbu saat Lebaran
Anton menjelaskan wisatawan asing dulu menjadikan Stasiun Pangandaran menjadi primadona.
"Biasanya mereka berangkat naik kereta dari Jakarta atau Bandung sampai Stasiun Kota Banjar. Dari Banjar baru menumpang kereta api Banjar-Pangandaran," kata Anton.
Stasiun Pangandaran. (Aldi Nur Fadillah/detikcom)
Setelah tiba di stasiun, barulah wisatawan asing itu dipandu. Umumnya mereka diajak melihat-lihat aktivitas masyarakat di sekitar stasiun KA.
"Di daerah sekitar stasiun itu dulu banyak aktivitas warga yang bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan asing," ujar Anton.
Misalnya, pabrik tahu dan tempe, pandai besi, anyaman dan lainnya. Bahkan, keberadaan Pasar Pangandaran juga menjadi daya tarik bagi wisatawan asing. Tak sedikit yang gemar berkeliling di pasar untuk sekedar melihat-lihat dan memotret.
Mereka menyusuri perjalanan jelajah perkampungan itu dengan menumpang becak. "Kalau di tahun 70-an becak di Pangandaran masih sedikit, jadi biasanya pakai delman atau andong," tutur Anton.
Di antara para wisatawan asing itu, tak sedikit yang berasal dari Belanda. Mereka biasanya memiliki minat khusus terhadap keberadaan jalur kereta api Banjar-Pangandaran.
"Kalau wisatawan dari Belanda, apalagi yang keluarganya atau leluhurnya pernah bertugas di Indonesia, biasanya bukan ke pantai. Mereka lebih tertarik menyusuri bangunan ikonik lebih dulu. Kami jemput mereka di Stasiun Cijulang, kemudian balik lagi dengan mobil untuk melihat jembatan Cipamotan atau terowongan Wilhelmina. Setelah itu baru ke pantai," kata Anton.
Anton memaparkan saat ini daya tarik Pangandaran bagi wisatawan mancanegara semakin pudar. Bukan karena pandemi COVID-19, karena tahun-tahun sebelum terjadi pandemi pun tingkat kunjungan wisatawan asing ke Pangandaran terus menurun.
"Sudah jarang sekali melihat turis jalan-jalan di Pangandaran. Memang ada segelintir, itu pun lebih banyak di Pantai Batukaras," kata Anton.
Stasiun Kereta Api Pangandaran (Faizal Amiruddin/detikcom)
Seandainya jalur kereta api Banjar-Pangandaran ini diaktifkan kembali, apakah bisa mengembalikan daya tarik Pangandaran di mata wisatawan mancanegara? Anton pesimistis.
"Ya, kalau mau diaktifkan kembali setuju saja. Tapi kalau melihat kenyataan di lapangan rasanya pesimis. Hampir sepanjang jalur kereta api Banjar-Pangandaran sudah diduduki bangunan warga. Belum lagi besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Kalau saya lebih cenderung dibangun jalan tol saja dulu," kata dia.
Terkait keberadaan stasiun, dia menyarankan untuk sementara bisa dijadikan museum mini untuk menceritakan sejarah jalur kereta Banjar-Pangandaran.
"Rawat dan manfaatkan bangunan yang tersisa. Kelak itu akan menjadi sangat berharga, sangat bersejarah lalu menjadi daya tarik wisata," kata Anton.
Artikel ini juga tayang di detikJabar, klik di sini