Sulit untuk memahami seseorang, sampai kita bertemu langsung dengan mereka. Kadang tulisan orang dan penggambaran tentang mereka tidak mencerminkan sikap asli mereka sama sekali. Bahkan tulisan dan klarifikasi mereka sendiri saja belum tentu mewakili apa yang mereka pikirkan dan yakini. Jangan mudah membuat kesimpulan.
6 Februari 1943 M. Tentara ke enam pimpinan marsekal lapangan Paulus baru saja bertekuk lutut. Menyerah dikepung oleh anak buah marsekal Zhukov. Balada memperebutkan kota Stalingrad usai sudah. Jerman sebagai bentuk duka cita, kemudian menetapkan hari berkabung selama tiga hari.
Tanggal enam itu, ada pertemuan dua orang penting yang tercatat dalam sejarah. Marsekal lapangan Erich Von Manstein yang memimpin Army Group Don, pasukan raksasa yang berada di antara Army Group A dan Army Group B dalam Operation Barbarossa, bertemu dengan kanselir Jerman Adolf Hitler.
Pertemuan yang konon berlangsung hingga empat jam itu penting bagi jenderal Manstein. Ia tak ingin bercakap-cakap hanya lewat telegram. Pasukannya harus mundur.
Dan dalam pertemuan itu, Manstein sekaligus ingin "memprotes" kerancuan jalur komando Third Reich. Hitler sebagai pemimpin negara, terlalu ikut campur urusan militer. Seolah-olah dia memegang jabatan ganda sekaligus sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Ini menyulitkan para jenderal dalam mengambil keputusan.
Dalam koridor militer profesional, ada garis komando. Panglima tertinggi seharusnya hanya turun tangan saat kondisi benar-benar genting. Dan dalam hal ini Hitler terlalu sering ikut campur. Akhirnya masalah tanggung jawab jadi rancu. Siapa nanti yang bertanggung jawab? Komandan tertinggi atau mereka yang diserahi tugas? Manstein ingin mempertegas ini.
Pertemuan ini menarik. Karena pandangan dari dua orang ini jadi logis. Sedikit menjawab kebingungan saya. Atas keputusan-keputusan Hitler yang sering tidak masuk akal. Hitler memiliki pandangan yang diutarakan Manstein dalam bukunya. Ia mencatat pertemuan hari itu.
Seperti yang kita tahu, semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin luas pula sudut pandang yang harus diambilnya. Terlepas dari karakter Hitler yang keras kepala, saya sering heran, vegetarian dan pecinta binatang yang bahkan tak merokok ini kok tega mengorbankan nyawa pasukan. Melarang tentaranya mundur. Tapi saat memahami dialog tanggal 6 Februari itu, semua jadi agak masuk akal.
Hitler langsung memimpin Operation Barbarossa jauh dari belakang. Menarik juga, selain tentunya masalah keamanan, orang seperti dia ternyata tidak mau melihat langsung jalannya pertempuran.
Dalam sebuah paparan yang pernah saya baca, konon itu adalah agar setiap keputusannya tidak dipengaruhi oleh sisi psikologis dan rasa belas kasih kepada derita pasukan.